MAX
Jika
ada yang bilang perempuan sulit jatuh cinta pada pria dengan penampilan sangat
sederhana, bawa orang itu kehadapanku. Karena aku tahu dengan pasti bahwa aku
Lala, adalah seorang perempuan. Aku juga tahu Max, Manusia paling sederhana dan
jadul. Aku bisa jatuh cinta pada Max dengan puisi yang biasa ia tulis, walau
kadang aku sulit memaknainya. Rambut mullet, kalung One Piece yang biasa dia
pakai dan tas selempang yang sudah dia modif dengan robekan ala rocker. Aku
pernah memberikannya sebuah tas ransel di hari ulang tahunnya, tapi dia tidak
pernah memakai ke sekolah. Itulah Max yang selalu ingin sederhana dan selalu
membawa sebuah buku Sayap-sayap Patah
karya Khalil Ghibran.
Waktu
itu aku sedang bercermin memperbaiki jilbabku di mushala bersama temanku Jani,
Max lewat menuju kantin.
“
udah cantik gausa di liatin mulu”
“apaansi Max”
“kok
kamu tau namaku?”
“siswa
mana yang tidak tahu seorang Max yang gayanya paling jadul. Bener ga jan?”
“iya
bener banget. Dari awal sekolah lu udah keliatan mencolok dengan gaa jadul.”
“haha... jadul-jadul gini gue banyak fans”
“siapa yang ngefans sama cowok jadul kayak
lo?”
“lo
bedua kan yang ngfans sama gue”
“ih...
amit-amit deh.”
“mau
bukti ? ni gue tunjukin”
Ada
seorang siswi lewat Max menghadangnya dan bertanya
“lu
tau nama gue siapa?”
“iih
siapa sih jadul, godrong, jijik banget!!”
“lu
liat kan, lu berdua fans gue hari ini”
“iyaa...
ta..”
Belum
selesai ngomong si Max jadul udah pergi ke kantin.
Ada
sebuah acara ceramah yang diadakan ketua remush sore habis pulang sekolah. Aku
terlambat datang karena ada meating untuk acara lomba futsal antar kelas di
sekolah yang biasa diadakan setiap tahun untuk mengisi kekosongan hari bebas
setelah ujian akhir sekolah selesai. Aku berjalan menuju mushala setelah dari ruang
kelasku Bahasa. Di sana kulihat si jadul Max sedang memegang microfone, aku
triakin aja dia dari bawah mushala. “ngapain lu jadul! pake pegang microfone
segala lagi!” Jani langsung berlari kearahku dan semua orang menatapku dan
menyuruhku diam dengan berkata “ssssssttttt..” sambil menaruh telunjuk di di
hidung. “ngapain si?” tanyaku lirih pada Jani. “si Max lagi mau bacain no tulen
dari ceramah tadi.” Kata Jani. Aku mengangguk mengerti. Dengan perasaan malu
aku pergi ke Gazebo buat ngilangin rasa malu, sambil nunggu aku mengerjakan
tugas bahasa inggris tadi diberi Bu guru. Beberapa menit acara di mushala
selesai.
Aku
yang tengah sibuk mengobrak-abrik kamus bahasa inggris di kagetkan oleh sebuah
tangan yang memberiku secarik kertas. ya itu Max yang memberiku secarik kertas
bertuliskan puisi.
“maaf
udah buat kamu malu tadi”
“
ya gapapa, aku juga yang salah langsung tiba-tiba teriak tadi”
“udah ga marah lagi ni?”
“iya
gak kok.”
“Kenapa
ga di baca kertasnya?”
“nanti
aja di rumah”
“yaudah aku balik dulu”
Dalam
sekejap Max pergi dengan vespa butut yang bunyinya nyaring. Sebuah momen yang
bikin aku benar-benar malu di mushala.
Di
hening malam yang begitu sunyi, dihalaman rumahku yang terdengar hanya suara
jangrik. Aku merogoh tas ku dan kutemukan kertas yang diberikan Max kepadaku.
Aku membacanya.
“
Saat hujan dibenci oleh orang-orang yang takut pakaiannya basah
Aku
malah lebih suka menikmatinya
Saat
orang-orang mencari cinta dengan hal yang begitu rumit dan sulit
Aku
malah mencari cinta dengan cara sederhana
Saat
orang-orang berpenampilan dengan begitu stylis
Aku
malah berusha berpenampilan apa adanya”
_MAX
Aku baru sadar setelah membaca puisi dari Max bahwa dia
bukan jadul. Tapi sederhana.
Max
datang ke kelasku. Menyodorkan sebuah buku karya pak Sapardi yaitu Hujan Bulan
Juni. Max ga sendiri dia bersama temannya Roni.
“aku pergi ke kantin dulu ya”
“eh jadul lu bego banget si ajakin kek orang
kekantin.”
Aku
tersenyum.
“yaelah
lu tau-tau an masalah cewek. Kalo masih jomblo jangan sok pro lo Ron”
“ laak mau kekantin kan bareng kite ?”
“boleh
kalo di traktir hehe...”
“tenang
laak ada boss Max ni dia baru gajian dari koran”
“lu tu ya gabisa jaga mulut banget si Ron, gue
malu tau”
“emang
dia ngapain di koran Ron?”
“ssssttt....
udah Ron. Lu mau makan kagak ?”
“ya
mau boss”
“Yaudah
ayok”
Sejak
saat itu aku jadi dekat sengan Max.
Waktu aku makan di kantin Bara dateng dia langsung duduk
di sebelahku. “laak kamu jadi ikut kan ke acara Talk Show Jepang?” “iya jadi
Bar”. Aku menatap wajah Max dan Roni, mereka menatap tajam kearah Bara. Mungkin
mereka kesal atau mungkin Max merasa cemburu dengan Bara. “siapa laak?” tanya
Max. “kenalin Bara Ketua Ekskul Bahasa Jepang” kata Bara dengan Bangga. Max
tersenyum tipis seperti “Yaaah... si wibu bangke sok-sok mau saingan.”. seperti
itulah mungkin yang bisa menggambarkan kekesalan Max. Kenyataannya aku menyukai
Bara sebelum Max hadir, Bara seperti orang jepang yang sangat kusukai di
film-film. Dia ganteng, stylis, dan jago banget bahasa jepang, satu lagi
berprestasi.
“Waktu istirahat sudah selesai, semua siswa diharapkan
segera memasuki ruang kelas”
Suara itu membubarkan
kami dari kantin, Max menuju Kelas IPA bersama Roni, Aku ke kelas Bahasa, dan
Bara Ke IPS.
Sore itu aku pergi bersama Bara ke Talk show jepang, dia
menjadi pembicara di Talk show itu. Kami sudah sering menghadiri acara seperti
itu, aku senang bisa hadir dan mendengar Bara berbahasa jepang. Karena aku suka
itu. Acaranya juga siaran langsung di Instagram. Acara di mulai dengan beberapa
pertanyaan basic yang biasa di tanyakan oleh moderator. Tentang prestasi Bara
dll. Tapi kali ini moderator menanyakan tentang pasangan kepada Bara. “Bar
sejauhi ini kita penasaran ni siapa sih sosok yang bisa menaklukan hati Bara ?”
tanya moderator. “oh... masalah itu hari ini spesial aku bawain sosok itu” kata
Bara. “siapakah dia bar? Apakah dia ada diantara orang-orang disini?” kata
moderator yang mulai mempertegang suasana. Bara kemudian menyebut deret sekian
baris kesekian. Aku menengok kiri kanan dan seujung audiens.
Komen
di IG mulai ramai. Kamera menyorot kearahku. Aku kebingungan. “laak kamu tau
sejak pertama bertemu aku sudah menyukaimu, aku cinta sama kamu laa” kata
Bara. Orang-orang bersorak mengatakan
“terima-terima!”. Sedangkan aku masih bingung harus memberi jawaban apa. Di IG
sudah mulai banyak komen yang aneh-aneh. Aku Terbayang wajah si jadul di waktu
seperti itu. Kepalaku tidak bisa berpikir. Aku meraak seperti terjebak diantara
lumpur lapindo yang terus menerus menarik kakiku kedalam. Dan kuputuskan
jawabanku tidak menerima Bara karena aku tidak suka dengan hubungan yang
diumbar seperti itu. Dan di komentar IG penuh dengan hujatan karena Aku tidak
sesuai dengan ekspektasi mereka. Aku berlari keluar ruangan.
Aku memang menyukai Bara tapi aku tidak suka caranya
menyatakan. Seandainya itu hanya aku dan dia mungkin aku akan menerimanya,
namun dengan seperti itu aku kecewa dengannya. Aku menelpon Max dan memintanya
menjemputku. Aku tidak tahu mengapa aku meminta Max yang menjemputku. Aku
menangis di luar dengan perasaan campur aduk. Max datang dan bertanya “kenapa
laak?” aku hanya diam. Di tengah perjalanan hujan begitu deras menguyuh kami di
jalan.
“Max
bisa minggir dulu”
“apa
kamu mau minggir berteduh?”
“iya”
“buat
apa minggir laak?, hujan ni tu obat paling mujarap tau gak?”
“udah
deh Max gausa sok tau aku lagi sedih ni”
“naah
justru itu, ni aku tunjukin caranya.” Max berteriak sekencang-kencangnya di
tengah jalan.
“cobain
deh”.
“gimana
kalo ada yang denger”
“gaakan
ada yang denger karena suara hujan lebih besar dari suaramu”
Aku
pun berteriak. “apaaaa kurang keras laaak”
Aku
berteriak sekencang mungkin
“naaah
itu baru bagus”
Entah
bagaimana caranya menyihirku. Aku begitu nyaman bersama Max dengan segala kesederhanaanya.meskipun
tampangnya agak jadul tapi dia bisa membuatku kembali bersemangat dan bahagia.
Itulah Max yang aku cintai